Kamis, 06 Januari 2011

Pengertian Tindak Pidana


Tindak pidana yang merupakan hasil terjemahan dari strafbaarfeit oleh berbagai pakar ternyata telah diberikan berbagai definisi yang berbeda-beda meskipun maksudnya mungkin sama.
            Komariah E Sapardjaja (www.hukumonline.com, 9 Oktober 2010, pukul 10.00 Wita) mengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.
            Sementara itu Van Hammel (Rusli Effendy, 1986 : 48) memberikan rumusan sebagai berikut adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam dan dilakukan dengan kesalahan.
            Dilihat dari sudut pandang harfiahnya, strafbaarfeit itu terdiri dari kata feit yang dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum hingga secara harfiah kata strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum (PAF Lamintang, 1997 : 181).
            Hezewinkel Suringa mendefinisikan strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya (PAF Lamintang, 1997 : 190).
            Menurut Pompe, Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (PAF Lamintang, 1997 : 207).
            Istilah Strafbaar feit haruslah dihubungkan dengan sifat wederrechtelijk atau aan schuld te wijten atau yang bersifat melawan hukum, yang telah dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja.
     Keterhubungan dengan sifat wederrechtelijk sangatlah penting, sebagaimana yang dicontohkan oleh Pompe, suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”   

            Dikatakan bahwa tidak setiap pembunuhan itu bersifat wederrechtelijk, misalnya seseorang yang telah membunuh orang lain karena melakukan suatu pembelaan diri seperti yang dimaksud di dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
                        Untuk menjatuhkan sesuatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila di situ hanya terdapat suatu strafbaar feit melainkan harus juga ada suatu strafbaar person atau seseorang yang dapat dihukum, di mana orang tersebut  dapat dihukum apabila strafbaar feit yang telah ia lakukan itu bersifat wederrechtelijk dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun dengan tidak dengan sengaja.
            Tentang sifat melawan hukum (wederrechtilijk) ini akan dibahas secara mendalam pada bahasan tentang unsur-unsur tindak pidana.
            Simons (PAF Lamintang, 1997 : 185) telah merumuskan strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan; berhubungan dengan kesalahan;  atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
            Dari rumusan Simons di atas dapat terlihat untuk adanya suatu strafbaarfeit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Setiap strafbaarfeit itu sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.
            Dari beberapa pandangan pakar di atas, setidaknya dalam pengertian tindak pidana tercakup di dalamnya :
-       Tindakan (komisi maupun omisi) yang sebelumnya telah di atur oleh Hukum Pidana;
-       Tindakan itu dapat dihukum atau dijatuhi sanksi pidana oleh negara melalui alat-alatnya;
-       Tindakan itu berhubungan dengan kesalahan atau bersifat melawan hukum.
-       Pelaku dapat dipertanggungjawabkan.
            Namun demikian sekadar sebagai perbandingan, Chairul Huda (2008 : 26) ternyata memiliki pandangan yang agak sedikit berbeda dengan pandangan pakar-pakar pada umumnya. Jika pakar-pakar pada umumnya telah memasukkan faktor kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak pidana, maka Chairul Huda justru menentang hal demikian.
            Kesalahan sebagai faktor penentu adanya pertanggungjawaban pidana karenanya harus dikeluarkan dari pengertian tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian dari definisi tindak pidana. Apakah inkonkreto, yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah di luar konteks pengertian tindak pidana.
            Pandangan yang sama dengan Chairul Huda adalah pandangan dari Marshal (Chairul Huda, 2008 : 35) bahwa suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam definisi tersebut unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakekatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan di sini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi).
            Jauh sebelum Chairul Huda yang tidak memasukkan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak pidana, adalah Moljanto (dalam Rusli Effendy, 1986 : 47) yang menyebutkan bahwa tindak pidana berarti perbuatan yang dilanggar dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan itu. 
                        Jadi menurut Chairul Huda dan pakar-pakar yang memiliki pandangan yang sama bahwa pada dasarnya suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka setidaknya harus dipahami bahwa tindakan tersebut sebelumnya telah diatur dalam Hukum Pidana dan tindakan itu dapat dihukum atau dijatuhi sanksi pidana oleh negara melalui alat-alatnya. 
            Di dalam kepustakaan kita juga sering dijumpai perkataan-perkataan lain untuk menyebutkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit yakni delictum di dalam bahasa Latin, delict di dalam bahasa Belanda, delikt di dalam bahasa Jerman, delit di dalam bahasa Perancis ataupun delik di dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar