Selasa, 28 Desember 2010

ASPEK HUKUM PRIVATISASI BUMN

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
          Harus dipahami bahwa pembangunan perekonomian nasional haruslah berorientasi pada komitmen konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat 4 yang menyebutkan :
“perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, esisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
         
          Sekadar menengok sejarah dimana perkembangan perkembangan ekonomi pada era orde baru dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebenarnya merupakan produk dari sebuah kebijakan politik. Ekonomi Orde Baru pada dasarnya merupakan buah dari keputusan politik yang dipilih oleh pemerintahan Soeharto. Munculnya penilaian tentang berkembangnya praktik ekonomi biaya tinggi, tumbuhnya konglomerasi ataupun pengusaha klien, merupakan bukti keterlibatan dari tangan-tangan politik di dalam dunia ekonomi (M. Amil Shadiq, 2003 : 3).
          Memasuki era Reformasi, globalisasi ekonomi tidak dapat terhindarkan lagi. Pola-pola lama yang telalu menutup ruang garak bagi pelaku-pelaku ekonomi khususnya bagi kalangan swasta menjadi tidak relevan lagi. Selain tidak relevan juga berpotensi melanggar UUD NRI 1945 yang menganut prinsip demokrasi ekonomi pancasila. Dalam prinsip demokrasi ekonmi pancasila negara dituntut untuk tidak lagi menjadi aktor ekonomi yang memonopoli semua faktor-faktor produksi.
            Salah satu kekuatan ekonomi nasional yang perlu ditingkatkan produktivitas  dan efisiensinya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya Persero. Untuk dapat mengoptimalkan peranannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). (Penjelasan Umum PP No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (persero))
          Privatisasi BUMN adalah salah satu kebijakan yang diambil dalam rangka mewujudkan prinsip demokrasi ekonomi pancasila. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendorong perubahan ekonomi. Melalui privatisasi maka praktik Good Corporate Governance akan lebih dijamin (M. Amil Shadiq, 2003 : 5).
            Privatisasi bukan semata-mata bermakna sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. (Penjelasan Umum PP No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (persero))
            Dengan dilakukannya Privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan Negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang, karena negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral tempat BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya.(Penjelasan Umum PP No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (persero)).
          Tentunya agar pelaksanaan privatisasi BUMN tetap berjalan sesuai dengan koridor-koridor sebagaimana yang digariskan oleh UUD NRI 1945 dan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi pancasila, maka tugas negara atau pemerintah adalah melakukan pemagaran yuridis yang berkaitan dengan pelaksanaan privatisasi tersebut. Disini hukum sebagai lembaga pranata sosial harus hadir untuk memainkan fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi.
          Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraiakan diatas maka sangat relevan untuk mengangkat judul dalam makalah ini “Aspek Hukum Privatisasi BUMN
B.      Rumusan Masalah
          Adapun yang menjadi Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah :
1.    Bagaimana aspek hukum privatisasi BUMN?
2.    Bagaimana pelaksanaan privatisasi BUMN?

Kamis, 23 Desember 2010

EKSISTENSI HAK ULAYAT DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
          Eddie Riyadi Terre menyebutkan ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adat ( indigenous peoples ),2 yaitu: Pertama, masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan, termasuk sumberdaya alamnya; Kedua, masalah selfdetermination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan Ketiga, masalah identification , yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi ( non-indigenous peoples ).
    Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki karakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.
Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari Hak Ulayat. Jauh sebelum terciptanya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), masyarakat hukum adat kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau Kekuatan Gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999). Hak Ulayat itu sendiri bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat hukum adat.
Bagi masyarakat hukum adat tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan lebih menguntungkan. Selain itu tanah merupakan tempat tinggal, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahkan menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan para leluhur persekutuan (Soerojo Wignjodipoero, dalam Aminuddin Salle 2007).
          Pada garis besarnya pada masyarakat hukum adat terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah yaitu hak perseorangan dan hak persekutuab hukum atas tanah. Para anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai objek (Aminuddin Salle, 2007).
          Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong-royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial atau genealogik. Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena itu, biarpun sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, tetapi berbeda dengan hak-hak dalam Hukum Tanah Barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam dirinya sudah terkandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat. (Boedi Harsono, 1999).
          Seiring perkembangan zaman, pergerakan pola hidup dan corak produksi masyarakat indonesia dari pola-pola atau corak-corak tradisional menuju ke pola atau corak yang modern mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat. Dewasa ini, masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistik.
         Saat ini meskipun Indoensia telah memiliki unifikasi hukum pertanahan yang berpuncak di UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan adanya UUPA tersebut, tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan, dimana hukum yang berlaku didasarkan pada golongan masing-masing namun penting untuk dingat bahwa hukum adat dan termasuk pula di dalamnya ada hak ulayat adalah merupakan dasar Hukum Tanah Nasional. Olehnya itu adalah sesuatu yang sangat rasional untuk melihat dan mengkaji keberadaan hak ulayat dalam Hukum Positif Indonesia khususnya di bidang hukum pertanahan.
B.      Rumusan Masalah   
         Dalam makalah ini akan disajikan bahasan mengenai hak ulayat dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia?
2.     Bagaimana batasan-batasan hak ulayat dalam hukum pertanahan Indonesia?

Selasa, 21 Desember 2010

UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil : Sebagai Pembaharuan Hukum Penguasaan Wilayah Perairan Pesisir


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
       Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 17. 504 pulau yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]. Dari jumlah tersebut 7870 pulau yang bernama dan 9634 pulau yang tak bernama[2]. Besarnya potensi ekonomi dan pentingnya arti pulau-pulau kecil sudah seharusnya menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia. Saat ini masih terdapat sekitar 11.504 pulau yang tak berpenghuni dan tentunya masih belum dikelola atau dimanfaatkan[3]. Hal demikian adalah sebuah ironi di tengah gegap gempita limpahan harta kekayaan yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
       Selain pulau kecil, Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya[4].
       Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya[5].
       Paradoksi mekanisme pengelolaan wilayah pesisir yang tidak effektif dan kemiskinan masyarakat tersebut harus segera diakhiri. Langkah ke arah itu dimulai dengan mengembangkan sistem pengelolaan wilayah pesisir wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu. Melalui sistem pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, diharapkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan serta memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang mengelolanya[6].
       Saat ini telah ada Undang-Undang yang secara mengkhusus mengatur mengenai pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir. Undang-Undang tersebut adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU WP-PPK).
       Hadirnya UU WP-PPK ini juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum Agaria. Selama ini wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan sehingga selain tidak mampu memberikan kepastian hukum serta menjamin pemanfaatan secara maksimal dan berkelanjutan. Sementara itu Peraturan perundangundangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relative kurang[7].
       Dengan adanya UU WP-PPK diharapkan memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha[8].  


B.   Rumusan Masalah
       1. Bagaimana Bentuk Penguasaan Wilayah Perairan Pesisir dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil?
       2.  Apa peraturan pelaksana dari UU No.27  Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil?

Secuil Tentang Noodweer

Dalam Ilmu Hukum Pidana, salah satu hal yang menjadi dasar penghapusan pidana (strafuitsluitingsgronden) adalah pembelaan terpaksa atau yang biasa disebut dengan noodweer. Hal demikian telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP yang berbunyi :
“tidaklah dapat dihukum, setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan yang perlu dilakukan bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain atas serangan yang bersifat seketika atau yang bersifat mengancam secara langsung dan yang bersifat melawan hukum”.
          Berangkat dari penjelasan pasal 49 ayat 1 KUHP dalam Memorie Van Toelichting maka dapat diinterpretasikan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai peristiwa Noodweer maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
-      Bahwa serangan bersifat melawan hukum;
-      Bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda baik kepunyaan sendiri maupun orang lain;
-      Keperluan untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan untuk meniadakan serangan tersebut, yang telah tidak dapat ditiadakan dengan cara lain.

          Terkait dengan bahaya terhadap kehormatan, Moeljatno melengkapinya dengan frasa “kehormatan kesusilaan” yang selanjutnya memberikan contoh :

“meraba dada orang sesama jenis kelamin kiranya tidak pantas kalau dibela dengan pukulan keras di atas kepala yang meraba, sebab serangan terhadap diri orang demikian itu hanya bersifat ringan. Tapi kalau yang diraba dadanya tadi adalah berlainan kelamin, maka disitu ada serangan terhadap kehormatan yang bersifat serisu juga, sehingga kemplangan keras di atas kepala tadi adalah tindakan yang setimpal”.

          Berdasarkan doktrin-doktrin yang ada, tindakan Noodweer merupakan suatu upaya pembelaan yang dimaklumi. Van Hattum salah seorang pakar hukum pidana, menyebutkan bahwa dalam suatu Noodweer itu dapat disamakan dengan suatu gewettigde eigen richting atau dapat disamakan dengan suatu “perbuatan main hakim sendiri” yang oleh undang-undang telah memakluminya atau memaafkannya. Bagi Van Hattum Noodweer adalah salah satu alasan pemaaf yang mengakibatkan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 
          Pendapat berbeda datang dari Hezewinkel-Suringa, yang mengemukakan bahwa paham yang umum dianuti oleh badan-badan peradilan dan oleh dunia ilmu pengetahuan adalah paham yang memandang Noodweer itu sebagai suatu rechtsverdedinging, yang juga oleh penasehat Hukum memandangnya  bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum melainkan sebagai suatu hak untuk memberikan perlawanan terhadap onrecht atau terhadap hal-hal yang bersifat melawan hukum. Perlawanan tersebut dipandang sebagai rechmatig atau dipandang sah menurut hukum bukan karena orang yang mendapat serangan itu telah melakukan suatu pembelaan, melainkan karena pembelaan dirinya itu merupakan suatu rechtsverdedinging.        
          Namun terlepas dari dua pandangan di atas, telah dipahami secara tetap dan telah diakui oleh Hukum Pidana Indonesia bahwa Noodweer adalah dasar yang meniadakan atau menghapuskan hukuman pidana (strafuitsluitingsgronden).

Kamis, 16 Desember 2010

Contoh Surat Kuasa Pidana I

SURAT KUASA

Yang bertandatangan/cap jempol di bawah ini:

Risman Bin Gawi, Laki-laki, Umur 24 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Mahasiswa, ALamat Pondok SS Jalan P. Kemerdekaan IV Kelurahan Tamalanrea Jaya Kota Makassar.

Selanjutnya disebut sebagai ...................................... Pemberi Kuasa.
Dengan ini menerangkan untuk sementara memilih domisili hukum pada kantor kuasa/penasehat hukumnya yang akan disebutkan di bawah ini.

Rabu, 15 Desember 2010

Contoh Kontra Memori Banding (Perkara Perdata)

KONTRA MEMORI BANDING
Dalam Perkara Perdata No. 17/Pdt.G/2010/PN. Sungg

Antara
Amir, S.E., Mpd.------------------------------------------ Pembanding
Dahulu Penggugat Konvensi ; Tergugat Konvensi

Melawan

Sarah Tangke, S.E., ------------------------------------------- Terbanding
Dahulu Tergugat Konvensi ; Penggugat Konvensi


Kepada Yth
Ketua Pengadilan Tinggi Makassar
Di Makassar

Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum

Tanah adalah suatu harta yang ada di muka bumi ini yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema-problema rumit. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban adalah tanah.

Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan, bahkan cenderung semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktifitas masyarakat itu sendiri. Masalah pertanahan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai variasinya serta memiliki kecenderungan menimbulkan dampak buruk lainnya.

S  ejak akhir abad ke 20, tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan karena nilai ekonominya yang tinggi. Selain menjadi sumber asas modal pembangunan, tanah juga merupakan faktor pemicu konflik atau sengketa yang sangat rawan serta memiliki potensi pemicu krisis sosial. Guna mencegah hal-hal tersebut diperlukan suatu peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang atau badan hukum terhadap tanah miliknya.

Di Indonesia, yang memiliki daratan  (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.

Suatu terobosan yang sangat revolusioner diakukan oleh UUPA  yaitu dihapusnya sistem “Domain Verklaring”. Domain Verlklaring adalah sistem yang menentukan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan secara autentik maka dengan sendirinya menjadi milik negara. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat indonesia yang berbasis adat, dimana bukti autentik tidak dikenal sebelumnya dan hanya mengandalkan asas saling kepercayaan.

Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Olehnya itu memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk memelihara dan mengatur peruntukannya secara adil dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup umat manusia di masa mendatang.  

Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :

“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan negara adalah :

a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut ;
b.      Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan  bumi, air dan ruang angkasa itu ;
c.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan  hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.

Suatu masalah yang kemudian muncul sehubungan kewenangan negara di atas adalah masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Praktis, hal ini bukanlah yang rumit-rumit amat. Mengingat yang memang pada dasarnya masyarakat indonesia sangat menjunjung tinggi kolektivitas, sehingga pengadaan tanah untuk kepentingan umum bukanlah menjadi masalah rumit. Tapi itu dulu. Seiiring arus indistrialisasi masuk di indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi-politik “tanam paksa” (culturstelseel) di tahun 1830. Pelan tapi pasti, paradigma masyarakat indonesia mulai berubah, yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini menjadi individualistik.   

Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, kalau tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum. Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan ptibadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagian rakyat seluruhnya. Itulah yang menjadi tujuan dari UUPA.

Dalam menjawab persoalan pengadaan tanah ini, di Indonesia telah diundangkan beberapa aturan yang antara lain
1.      UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
2.      Permendagri No 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah, yang disusul Permendagri No 2 Tahun 1976 dan Permendagri No 2 Tahun 1985.
3.      Keppres No 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan.
4.      Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ; dan yang terakhir
5.      Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.


Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum

Berdasarkan Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan ini berkaitan dengan asas kenasionalan UUPA, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hak itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam ketentuan-ketentuan itu tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Sebagai pengejawantahan dari fungsi sosial tanah, maka Pasal 18 UUPA memungkinkan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah (onteigening) jika betul-betul untuk kepentingan umum. Program pengadaan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum semakin tinggi intensitasnya. Tuntutan atas penggunaan lembaga onteigening semakin meningkat. Hal ini kemudian menimbulkan konflik atau masalah pertanahan yang serius. Dalam pelaksanaan di lapangan sering menimbulkan pertanyaan, apa sesungguhnya kriteria kepentingan umum itu. Hal demikian juga berimbas munculnya kriteria kepentingan umum versi masyarakat dan versi proyek, yang ujung-ujungnya selalu mengacu pada kriteria proyek yang pada akhirnya memicu pertentangan yang sangat tajam di masyarakat.     

Sebelum menguraikan secara mengkhusus bentuk-bentuk dan sistem pengadaan, maka terlebih dahulu penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Memberikan pengertian  tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain karena sangat rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat terkait.

Tapi hal ini dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oeh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :
  1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
  2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
  3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
  4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
  5. Tempat pembuangan sampah;
  6. Cagar alam dan cagar budaya;
  7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Bentuk Pengadaan Tanah

Pada prinsipnya hukum agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu
-         Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) ;
Perpres No 36/2005 memberikan definisi pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
-         Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Berdasarkan penjelasan umum UU No. 20/1961 ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya pencabutan hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah, dalam hal ini presiden. Bentuk kewenangan yang diberikan undang-undang adalah untuk melakukan tindakan dengan secara paksa mengambil dan menguasai tanah seseorang untuk kepentingan umum

Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar azas musyawarah.

Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan.

Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres No. 36/2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65/2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan segampangnya saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia, Perpres No 65/2006 lebih agak manusiawi dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya. 

Secara teknis dalam Perpres No 65/2006 meyebutkan pelepasan tanah dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah ini bertugas untuk mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya serta melakukan inventarisasi atas tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Selanjutnya panitia pengadaan tanah ini akan menetapkan besaran ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

Suatu terobosan kecil yang diberikan oleh Perpres No 65/2006 adalah dengan dicantumkannya pasal 18 A. Pasal 18 A menentukan apabila  yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20/1961.

Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Wali Kota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri.  Ini artinya memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang nota bene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.


Pengaruh Hukum Terhadap Eksistensi Perusahaan dalam Memacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional


Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara. Cita-cita hukum nasional merupakan satu hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan pelaksanaan nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berasaskan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. khusus dalam bidang kehidupan dan kegiatan ekonomi pada umumnya dan dalam rangka menyongsong masyarakat global, cita hukum nasional sangat membutuhkan kajian dan pengembangan yang lebih serius agar mampu turut serta dalam tata kehidupan ekonomi global dengan aman, dalam pengertian tidak merugikan dan dirugikan oleh pihak-pihak lain.

Lembaga hukum adalah salah satu di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama, ekonomi, perang atau lainnya. Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Berdasarkan pengalaman sejarah, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.

Tuntutan agar hukum mampu berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan prinsip efisiensinya merupakan fenomena yang harus segera ditindaklanjuti apabila tidak ingin terjadi kepincangan antara laju gerak ekonomi yang dinamis dengan mandeknya perangkat hukum. Di samping itu ahli hukum juga diminta peranannya dalam konsep pembangunan, yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga (agent) modernisasi dan bahwa hukum dibuat untuk membangun masyarakat (social engineering).
Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional. Sementara pada ayat 1 menyebutkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dari sini tersirat dan merupakan landasan konstitusional dimana perekonomian nasional bukan lagi monopoli negara, melainkan telah diberikan akses yang seluas-luasnya kepada kalangan swasta atau masyarakat untuk ikut serta dalam perekonomian nasional. Peran kalangan swasta atau masyarakat ini kemudian dimanifestasikan melalui badan-badan usaha yang bentuk dan eksistensinya diatur dalam perangkat hukum.

Abdullah Marlang, (dalam kuliah Hukum Perusahan), menjelasakan bahwa ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah dasar konstitusional wujud eksistensi badan usaha dalam memainan perannya. Lebih lanjut Abdullah Marlang menyebutkan adapun peran badan-badan usaha adalah memacu laju pertumbuhan ekonomi nasional, mewujudkan tata perekonomian yang maksimal dan handal, merespon globalisasi ekonomi dunia, dan merespon era perdagangan bebas.

Indonesia sebagai negara hukum dan berasaskan pancasila, maka adanya aturan atau regulasi yang mengatur badan-badan usaha dalam melakukan interaksi dan menjalankan aktivitasnya dalam penyelenggaraan perekonomian nasional adalah menjadi sesuatu yang sangat urgen. Sejarah telah membuktikan aktivitas ekonomi mekanisme pasar yang terlalu liberal membawa dampak-dampak negatif berupa tersisihnya pelaku-pelaku ekonomi kecil, terabaikannya hak-hak ekonomi social budaya masyarakat-masyarakat kecil, dan tidak memberikan jaminan dalam rangka perwujudan kesejahteraan sosial sebab distrubusi kekayaan hanya mengalir ke pelaku-pelaku ekonomi besar. Olehnya itu maka tugas negar atau pemerintah adalah melakukan pemagaran yuridis yang berkaitan dengan filosofi badan usaha menurut UUD NRI 1945 dan menyusun paket Undang-undang Bisnis/Ekonomi yang handal dan responsif.

Paket UU Bisnis/Ekonomi
Saat ini Indonesia telah memiliki beberapa UU yang berkaitan dengan hukum bisnis/hukum ekonomi. Sejak bergulirnya reformasi tahun 1998 yang dikuti dengan refomasi ekonomi, bisa dikatakan semua peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan hukum bisnis/ekonomi mengalami revisi bahkan diganti. Tercatat peraturan perundang-undangan tersebut adalah :
-         UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
-         UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
-         UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia beserta UU Perbuahannya;
-         UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;
-         UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
-         UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
-         UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
-         UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
-         UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;
-         UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
-         UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
-         UU No. 22 Tahun 2001 tentang Miyak dan Gas Bumi;
-         UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
-         UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN;
-         UU No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan;
-         UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
-         UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
-         UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;
-         UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
-         UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
-         UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial;
-         UU No. 30 Tahun 2004 tentang Energi;
-         UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
-         UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
-         UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara;
-         UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
-         UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;
-         UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Inilah beberapa UU yang mengatur dan merupakan pagar yuridis bagi badan-badan usaha dan pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam melakukan aktivitasnya dan berinteraksi baik antara satu sama lain maupun dengan negara dan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.

Satu hal yang menjadi keniscayaan sejarah dalam kaitannya dengan perekonomian nasional adalah adanya globalisasi dan perdagangan bebas. Rasanya tidaklah adil apabila melihat globalisasi dan liberalisasi ekonomi secara apriori, namun sebaliknya menerimanya dengan mentah-mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan sikap yang bijaksana. Dengan berbagai akibat positif dan negatifnya, globalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah atau bahkan dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justeru akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya membuka peluang transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi bangsa Indonesia. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan menggunakan hukum sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara ini menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.

Arus globalisasi dan perdagangan bebas yang tidak terbendung mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengambil peran yang sangat signifikan udalam menjamin terselenggaranya perekonomian nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Yakni pengejawantahan dari prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan dimana pada satu sisi memberikan kepastian hukum bagi pelaku-pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitas ekonominya, dan pada sisi lain menjamin pendistribusian manfaat kepada masyarakat dan negara, menjamin kelestarian lingkungan hidup dan pada akhirnya menciptakan perekonomian nasional yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan terjaganya keseimbangan kemajuan ekonomi nasional