Rabu, 05 Januari 2011

Materi Perkuliahan Peraturan Jabatan Notaris

A.    ARTI PENTING AKTA NOTARIS
        Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Secara umum dikenal dua konsep Negara Hukum yakni Rule Of Law dan Rechtstaat. Meskipun keduanya berasal dari dua negara yang sistem hukumnya berbeda yaitu Rule Of Law dari negara Anglo Saxon dan Rechtstaat mewakili eropa kontinental, namun substansi keduanya hampir sama. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
        Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat[1]. Hal demikian diperkuat dengan adanya fakta empirik dimana hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lainnya semakin kompleks dan semakin mengglobal. Kompleksitas ekonomi, politik dan pluralisasi kultur memaksa setiap subjek hukum untuk bertindak cepat, tepat dan berkepastian hukum. Tidak seperti dulu lagi dimana hubungan hukum dilakukan secara lisan dengan dasar kepercayaan, sekarang semua harus serba tertulis dan dijamin oleh hukum. Oleh karena itu keberadaan akta otentik telah menjadi kebutuhan primer dalam ruang lingkup semua interaksi primer mancakup interaksi ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
        Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat[2]. Akta otentik sendiri setidaknya mengandung tiga unsur sebagai berikut :
-      Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang;
-      Dibuat dalam bentuk atau format yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
-      Dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

        Notaris adalah pejabat umum yang berwenang antuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan[3]. Oleh karenanya tersimpulkan bahwa akta notaris adalah akta otentik. Namun penting untuk dibedakan antara akta notaris dengan akta yang hanya disahkan atau akta yang diregister oleh notaris karena sifatnya tentu berbeda. Bagi akta notaris, memang bahwa akta tersebut memenuhi unsur-unsur akta otentik, sedangkan akta yang disahkan atau diregister (warmarking) tidaklah dibuat oleh atau dihadapan notaris, melainkan dibuat oleh para pihak sendiri hal mana isi dan bentuknya sesuai kehendak para pihak tersebut tanpa campur tangan notaris.    
        Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya[4].
        Akhirnya dapat dipahami bahwa akta notaris memiliki arti penting yaitu :
-      Memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam rangka hubungan hukum antar subjek hukum sebagai perwujudan dari Negara Hukum.
-      Merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dalam berbagai hubungan seperti bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain.
-      Merupakan dokumen resmi yang memuat informasi-informasi mengenai suatu perbuatan hukum. Hal ini sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian dan kepentingan-kepentingan hukum di masa mendatang.
 
B.    KEWENANGAN NOTARIS
        Berdasarkan pasal 15 UU No 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris disebutkan kewenangan notaris sebagai berikut :
1.   Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam kaitannya dengan akta otentik ini, bahwa wewenangan notaris mempunyai 4 (empat) aspek, yaitu  :
-           Berwenang mengenai aktanya;
-           Berwenang mengenai orang-orangnya;
-           Berwenang mengenai waktu dan tempat pembuatan akta;
-           Berwenang sepanjang waktu akta itu berlaku

2.   Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dean menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khsusus.
Hal ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris
3.   Notaris berwenang membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
4.   Notaris berwenang membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
5.   Notaris berwenang melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
6.   Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
7.   Berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
8.   Berwenang membuat akta risalah lelang.
Kewenangan-kewenangan di atas merupakan kewenangan atributif artinya kewenangan yang langsung melakat pada jabatan notaris dan diberikan langsung oleh undang-undang.
Selain kewenangan-kewenangan atributif di atas, notaris juga memiliki sumlah kewenangan yang bersifat delegatif. Hal demikian disebutkan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN yang berbunyi :
“selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

C.    LARANGAN-LARANGAN NOTARIS DALAM UUJN & KODE ETIK
        Larangan-larangan bagi Notaris dalam UUJN disebutkan dalam pasal 17 UUJN sebagai berikut :
1.   Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris.
2.   Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Larangan dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya
3.   Merangkap sebagai pegawai negeri;
4.   Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5.   Merangkap jabatan sebagai advokat;
6.   Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7.   Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
8.   Menjadi Notaris Pengganti; atau
9.   Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

        Sementara itu dalam Kode Etik Notaris disebutkan larangan-larangan sebagai berikut :
1.         Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
2.         Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris di luar lingkungan kantor.
Meskipun hal ini dilarang, namun secara empirik banyak ditemukan dimana Notaris memasang papan namanya di luar lingkungan kantor.
3.         Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencamtumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk :
a.  Iklan;
b.  Ucapan selamat;
c.  Ucapan belasungkawa;
d.  Ucapan terima kasih;
e.  Kegiatan pemasaran;
f.   Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, mapun olah raga.

4.         Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
Hal ini menegaskan larangan bagi Notaris untuk menggunakan jasa calo atau makelar.
5.         Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh orang lain.
Sesuai dengan prinsipnya bahwa Akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
6.         Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
7.         Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditunjukkan langsung kepada klien yang bersangkutan mapun melalui perantaraan orang lain.
8.         Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta kepadanya.
9.         Melakukan usaha-usaha, baik langsung mapun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan tidak sehat dengan sesame rekan Notaris.
10.      Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan oleh perkumpulan.
11.      Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12.      Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13.      Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14.      Menggunakan dan mencamtumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15.      Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a.       Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b.      Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c.       Isi sumpah Jabatan Notaris;
d.      Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Kepetusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh Anggota.

C.    PENGAWASAN NOTARIS
        Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menhumham membentuk Majelis Pengawas yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, dari organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang, dan dari ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Majelis Pengawas terdiri atas :
-   Majelis Pengawas Daerah (MPD);
-   Majelis Pengawas Wilayah (MPW);
-   Majelis Pengawas Pusat (MPP).
       
        MPD dibentuk di tingkat kabupaten atau kota. Ketua dan Wakil Ketua MPD dipilih dari dan oleh anggota-anggotanya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggotanya adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya MPD dibantu oleh seorang sekertaris atau lebih yang ditujuk dalam Rapat MPD.

Adapun yang menjadi kewenangan dari MPD adalah :
a.    menyelenggarakan sidang untuk. memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b.   melakukan pemeriksaan; terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c.    memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d.   menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e.    menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f.     menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.    menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
h.   membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Selanjutnya dalam Pasal 71 UUJN disebutkan kewajiban-kewajiban Notaris sebagai berikut :
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan k°pada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f.   menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti

        MPW dibentuk dan berkedudukan di ibu Kota Provinsi. Ketua dan Walil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh anggota-anggotanya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggotanya adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya MPW dibantu oleh seorang sekertaris atau lebih yang ditujuk dalam Rapat MPW.

        Pasal 73 UUJN memberikan kewenangan sebagai berikut :
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f.   mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1)             pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2)   pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.

Selanjutnya pada pasal 75 UUJN memberikan kewajiban kepada MPW sebagai berikut :
a.     menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris; dan
b.     menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.

        MPP dibentuk dan berkedudukan di ibu Kota Provinsi. Ketua dan Walil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh anggota-anggotanya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggotanya adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya MPP dibantu oleh seorang sekertaris atau lebih yang ditujuk dalam Rapat MPP.
        Pasal 77 UUJN memberikan kewenangan kepada MPP :
a.   menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b.           memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.           menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d.           mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

        Terkait dengan Pengawasan Notaris ini, bahwa hal demikian juga diatur dalam Kode Etik Notaris Indonesia. Adapun yang melakukan pengawasan atas Kode Etik Notaris adalah :
-   Dewan Kehormatan Daerah, pada tingkat pertama;
-   Dewan Kehormatan Wilayah, pada tingkat banding;
-   Dewan Kehormatan Pusat, pada tingkat akhir;

        Persamaan antara Majelis Pengawas dengan Dewan Kehormatan adalah keduanya melakukan pengawasan atas Kode Etik Notaris. Perbedaannnya adalah, bahwa Majelis Pengawas melakukan pengawasan Kode Etik yang bersifat eksternal, yakni yang mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Sementara Dewan Kehormatan melakukan pengawasan Kode Etik yang bersifat internal (organisasi) yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan masyarakat.

D.    AKTA NOTARIS
        Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Akta Notaris adalah akta otentik. Akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. Akta Notaris dibuat dalam bahasa Indonesia. Setiap akta Notaris terdiri atas awal akta atau kepala akta; badan akta; dan akhir atau penutup akta.
          Penghadap harus memenuhi paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan  cakap melakukan perbuatan hukum.
        Akta dibuat dalam bahasa Indonesia. Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.
        Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu . kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada yang bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku, apabila orang tersebut kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di hadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris. 

E.    TANGGUNG JAWAB NOTARIS
        Tanggung jawab Notaris meliputi :
-   Tanggung jawab penegakan hukum dan pengawasan Notaris
-   Tanggung jawab Notaris atas akta Notaris yang dibuatnya.
        Jika ada akta Notaris yang batal demi hukum atau dibatalkan (oleh Putusan Pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap) maka akya tersebut menjadi akta Notaris tersebut berubah status menjadi akta di bawah tangan dengan tetap mengacu pada pasal 1365 BW Indonesia. Pertanggungjawab Notaris atas hal tersebut harus dengan melihat :
-   Apakah ada hubungan kausalitas dengan kelalaian Notaris;
-   Apakah kelalaian tersebut adalah kelalaian yang dapat dipertanggungjawabkan;
-   Apakah suatu masalah memang bersumber dari kesalahan Notaris itu sendiri
       


[1] Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris alinea kedua.
[2] Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris alinea ketiga.
[3] Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris alinea keempat.
[4] Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris alinea kelima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar