Kamis, 06 Januari 2011

Skripsi Hukum : Tinjauan Yuridis Penerapan Pasal 332 KUHP Dengan Maksud Untuk Memastikan Penguasaannya Dalam Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
            Manusia sebagai makhluk sosial dalam melakukan interaksi baik antara sesamanya maupun dengan makhluk lainnya terikat oleh hukum yang mengatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sebagaimana definisi hukum yang dikemukakan oleh Achmad Ali (2002 : 35) bahwa hukum adalah seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya.
            Dalam ilmu hukum, salah satu jenis hukum yang dikenal adalah hukum pidana. W.L.G. Lemaire (dalam PAF Lamintang, 1997 : 1) menyebutkan hukum pidana terdiri dari norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang oleh pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
            Rusli Effendy (1986 : 1) memberikan penjelasan sebagai berikut :
            Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
-        Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
-        Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan;
-        Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

            Dalam hukum pidana sendiri dikenal dengan adanya 2 (dua) kategori yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Hukum pidana Indonesia telah  mengaturnya secara positif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kejahatan diatur dalam Buku II dan Pelanggaran diatur dalam Buku III.
            Salah satu bentuk kejahatan yang akan dibahas dalam skripsi hukum ini adalah Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang sebagaimana yang diatur dalam Buku II Bab XVIII KUHP yang secara mengkhusus akan dikaji Pasal 332 KUHP.
            Bab XVIII KUHP yang mengatur mengenai Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang ini terdiri dari 14 (empat belas) pasal. Secara teoritik terdiri dari beberapa perbuatan yang antara lain perbuatan membawa lari seseorang dengan maksud untuk menguasai (Pasal 328); membawa lari orang yang belum dewasa (Pasal 330); membawa lari seorang perempuan yang belum dewasa (Pasal 332); dan merampas kemerdekaan seseorang dengan cara melawan hukum (Pasal 333). Perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 333 KUHP oleh umum dikenal dengan istilah penculikan.
            Dalam hubungannya dengan Pasal 332 KUHP yang dipahami sebagai membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa dengan maksud untuk menguasainya, oleh masyarakat kita sering dikaitkan dengan peristilahan kawin lari. Kawin lari itu sendiri apabila diartikan secara sederhana adalah antara seorang pria dan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan dengan tanpa direstui oleh orang tua atau walinya. Meskipun ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kawin lari, namun khlayak umum telah menganggap bahwa faktor sosial ekonomi lah yang merupakan faktor utama terjadinya kawin lari.
            Pada kasus yang akan menjadi acuan utama skripsi hukum ini adalah terdakwa telah didakwa dengan suatu perbuatan yakni membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa dengan tanpa persetujuan orang tua wanita itu. Namun yang menjadi persoalan pada kasus dalam Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks ini adalah terdapat indikasi fakta bahwa justru saksi korbanlah mengajak terdakwa untuk lari dan pergi dari rumah orang tuanya. Dengan kata lain inisiatif datangnya bukan dari terdakwa dalam peristiwa lari dan perginya wanita tersebut (saksi korban) dari kekuasaan orang tuanya, melainkan inisiatif datang dari saksi korban. Sehingga di depan persidangan terjadi perdebatan antara Jaksa Penuntut Umum dengan Tim Penasehat Hukum Terdakwa mengenai penafsiran dan penerapan unsur “dengan maksud untuk memastikan penguasan” dalam perkara a quo. Meskipun pada akhirnya Majelis Hakim sependapat dengan pendapat Jaksa Penuntut Umum.  
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkajinya dan menuangkannya dalam suatu skripsi hukum yang berjudul “Tinjauan Yuridis Penerapan Pasal 332 KUHP Dengan Maksud Untuk Memastikan Penguasaannya Dalam Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang”.

 B.        Rumusan Masalah
            Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi hukum ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana penerapan unsur dengan maksud untuk memastikan penguasaan dalam kasus pada Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks.?
2.      Apa pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks.?

C.        Tujuan dan Kegunaan Penelitian
            Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu antara lain :
1.            Untuk mengetahui penerapan unsur dengan maksud untuk memastikan penguasaan dalam kasus pada Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks.
2.            Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks.
            Sedangkan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat atau kegunaan sebagai berikut :
1.            Secara akademis,
secara akademis diharapkan karya tulis ilmiah hukum ini dapat memberikan masukan atau kontribusi secara teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin Ilmu Hukum Pidana.
2.            Secara praktis
secara praktis diharapkan karya tulis ilmiah hukum ini dapat memberi masukan bagi Penegak Hukum atau Praktisi Hukum (Hakim, Polisi, Jaksa, dan Advokat) serta sebagai sumber inspirasi bagi penelitian berikutnya yang relevan atau berkaitan dengan karya ilmiah hukum ini
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.        Pengertian Tindak Pidana
            Tindak pidana yang merupakan hasil terjemahan dari strafbaarfeit oleh berbagai pakar ternyata telah diberikan berbagai definisi yang berbeda-beda meskipun maksudnya mungkin sama.
            Komariah E Sapardjaja (www.hukumonline.com, 9 Oktober 2010, pukul 10.00 Wita) mengatakan tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.
                        Sementara itu Van Hammel (Rusli Effendy, 1986 : 48) memberikan rumusan sebagai berikut adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam dan dilakukan dengan kesalahan.
            Dilihat dari sudut pandang harfiahnya, strafbaarfeit itu terdiri dari kata feit yang dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum hingga secara harfiah kata strafbaarfeit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum (PAF Lamintang, 1997 : 181).
            Hezewinkel Suringa mendefinisikan strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya (PAF Lamintang, 1997 : 190).
            Menurut Pompe, Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (PAF Lamintang, 1997 : 207).
            Istilah Strafbaar feit haruslah dihubungkan dengan sifat wederrechtelijk atau aan schuld te wijten atau yang bersifat melawan hukum, yang telah dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja.
     Keterhubungan dengan sifat wederrechtelijk sangatlah penting, sebagaimana yang dicontohkan oleh Pompe, suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”   

            Dikatakan bahwa tidak setiap pembunuhan itu bersifat wederrechtelijk, misalnya seseorang yang telah membunuh orang lain karena melakukan suatu pembelaan diri seperti yang dimaksud di dalam pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
                        Untuk menjatuhkan sesuatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila di situ hanya terdapat suatu strafbaar feit melainkan harus juga ada suatu strafbaar person atau seseorang yang dapat dihukum, di mana orang tersebut  dapat dihukum apabila strafbaar feit yang telah ia lakukan itu bersifat wederrechtelijk dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun dengan tidak dengan sengaja.
            Tentang sifat melawan hukum (wederrechtilijk) ini akan dibahas secara mendalam pada bahasan tentang unsur-unsur tindak pidana.
            Simons (PAF Lamintang, 1997 : 185) telah merumuskan strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan; berhubungan dengan kesalahan;  atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
            Dari rumusan Simons di atas dapat terlihat untuk adanya suatu strafbaarfeit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Setiap strafbaarfeit itu sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.
            Dari beberapa pandangan pakar di atas, setidaknya dalam pengertian tindak pidana tercakup di dalamnya :
-       Tindakan (komisi maupun omisi) yang sebelumnya telah di atur oleh Hukum Pidana;
-       Tindakan itu dapat dihukum atau dijatuhi sanksi pidana oleh negara melalui alat-alatnya;
-       Tindakan itu berhubungan dengan kesalahan atau bersifat melawan hukum.
-       Pelaku dapat dipertanggungjawabkan.
            Namun demikian sekadar sebagai perbandingan, Chairul Huda (2008 : 26) ternyata memiliki pandangan yang agak sedikit berbeda dengan pandangan pakar-pakar pada umumnya. Jika pakar-pakar pada umumnya telah memasukkan faktor kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak pidana, maka Chairul Huda justru menentang hal demikian.
            Kesalahan sebagai faktor penentu adanya pertanggungjawaban pidana karenanya harus dikeluarkan dari pengertian tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian dari definisi tindak pidana. Apakah inkonkreto, yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak pidana tersebut kemudian dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, sudah di luar konteks pengertian tindak pidana.
            Pandangan yang sama dengan Chairul Huda adalah pandangan dari Marshal (Chairul Huda, 2008 : 35) bahwa suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam definisi tersebut unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakekatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan di sini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi).
            Jauh sebelum Chairul Huda yang tidak memasukkan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sebagai bagian dari pengertian tindak pidana, adalah Moljanto (dalam Rusli Effendy, 1986 : 47) yang menyebutkan bahwa tindak pidana berarti perbuatan yang dilanggar dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan itu. 
                        Jadi menurut Chairul Huda dan pakar-pakar yang memiliki pandangan yang sama bahwa pada dasarnya suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka setidaknya harus dipahami bahwa tindakan tersebut sebelumnya telah diatur dalam Hukum Pidana dan tindakan itu dapat dihukum atau dijatuhi sanksi pidana oleh negara melalui alat-alatnya. 
            Di dalam kepustakaan kita juga sering dijumpai perkataan-perkataan lain untuk menyebutkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit yakni delictum di dalam bahasa Latin, delict di dalam bahasa Belanda, delikt di dalam bahasa Jerman, delit di dalam bahasa Perancis ataupun delik di dalam bahasa Indonesia.

B.        Unsur-Unsur Tindak Pidana
            Dari segi teoritik suatu tindak pidana terdiri dari dari unsur subjektif dan unsur objektif.
            Unsur objektif berkaitan dengan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.
            Sedangkan unsur subjektif berkaitan dengan tindakan tindakan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku baik seseorang maupun beberapa orang (Abdullah Marlang, 2010 : 67).
            Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hati dan pikirannya.
            Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah (PAF Lamintang, 1997 : 193)
-        Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);
-        Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
-        Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
-        Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
-        Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
            Sementara unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
-         Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
-         Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
-         Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
            Untuk memahami mengenai unsur-unsur tindak pidana, maka penting kirannya untuk mengadakan pembahasan tentang bestanddelen van het delict atau bagian-bagian inti yang terdapat dalam rumusan delik dan apa yang disebut dengan elementen van het delict atau ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik tetapi harus dpandang sebagai asas-asas.
            Yang dimaksud dengan elementen van het delict adalah (PAF Lamintang, 1996 : 196) ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik melainkan di dalam Buku ke-1KUHP atau dapat dijumpai sebagai asas-asas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang terdiri dari berbagai elemen, yakni :
a.      Hal dapat dipertanggungjawabkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat terhadap pelakunya;
b.      Hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan;
c.      Hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan ataupun unsur ketidaksengajaan;
d.      Sifat yang melanggar atau melawan hukum.
            Hal mengenai dapat dipertanggungjawabannya pelaku maka dijadikan sebagai acuan utama adalah ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang berbunyi :
            “(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwa atau akalnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;

            (2)   Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwa cacat, atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama sebagai satu tahun sebagai waktu percobaan.”  

            Dalam Pasal ini sebagai sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena :
-        Jiwanya cacat. Teks KUHP Negeri Belanda memakai kata geest vermogens yang berarti kekuatan atau daya jiwa. Misalnya adalah idiot, imbicil.
-        Terganggu karena penyakit. Disini mengandung arti bahwa orang tersebut pada mulanya sehat tetapi baru mengalami gangguan jiwa setelah dihinggapi penyakit-penyakit tertentu umpanya pernah mendapat demam yang tinggi atau menderita penyakit yang kronis. Teks KUHP Negeri Belanda menggunakan kata Ziekelijk storing der verstandelijk vermogens. Yang dapat masuk dalam ketegori ini adalah sakit gila, epilepsie, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. 
            Dalam Memorie van Toelichting (MvT) menyebutkan bahwa  seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan apabila (Rusli Effendy, 1986 : 134) :
            a.    Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga tidak dapat mengerti harga serta nilai dari perbuatannya;
            b.    Tidak dapat menentukan kehendaknya atas`perbuatan yang dilakukan;
            c.    Tidak dapat menginsafi bahwa perbuatan itu dilarang.
            Sesorang yang mabuk karena minuman keras tidak termasuk dalam ukuran tersebut di atas karena sebelumnya ia telah mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul akibat minuman keras tersebut. Utrecht berpendapat bahwa meskipun orang mabuk tidak jatuh di bawah pasal 44 KUHP, orang tersebut tidak dapat dikenai karena tidak adanya anasir sengaja. Sedangkan Pompe berpendapat bahwa orang tersebut harus dikenai pidana karena ia sudah dapat menduga sebelumnya akibat akibat pemakaian minuman keras tersebut (Rusli Effendy, 1986 : 150).
            Terkait dengan pemabuk tadi, Achmad Ali (2010 : 298) bahwa harus dibedakan antara kesadaran hukum dengan ketidaktaatan hukum. Seorang pemabuk adalah orang yang sadar hukum namun bentuk kesadaran hukumnya adalah dengan tidak menaati hukum itu. Artinya seorang pemabuk sadar bahwa perbuatan demikian adalah terlarang oleh hukum dan membawa kibat yang juga dilarang oleh hukum namun ia tetap melakukan perbuatan demikian sehingga ia tidak termasuk dalam ketegori Pasal 44 KUHP dan dapat dijatuhi sanksi pidana.
              Istilah melawan hukum atau wederrechtelijk itu sendiri oleh berbagai pakar telah diberikan arti yang berbeda-beda, sehingga Van Hammel telah membuat dua macam kelompok pendapat mengenai arti istilah wederrechtelijk itu sebagai berikut. Kelompok pertama adalah paham positif yang telah mengartikan wederrechtelijk itu sebagai in strijd met het recht atau bertentangan dengan hukum yakni misalnya paham dari Simons atau yang mengartikan sebagai met krenking van eens anders recht atau melanggar hak orang lain yakni misalnya paham dari Noyon. Kelompok kedua adalah paham negatif yang telah mengartikan wederrechtelijk itu sebagai niet steunend op het recht atau tidak berdasarkan hukum ataupun sebagai zonder bevoegdheid atau tanpa hak yakni misalnya paham dari Hoge Raad. (PAF Lamintang, 1996 : 347).
            Schaffmeister (Andi Hamzah, 2007 : 129) membedakan pengertian melawan hukum ke dalam empat kelompok :
-        Sifat melawan hukum secara umum;
-        Sifat melawan hukum secara khusus;
-        Sifat melawan hukum secara formal;
-        Sifat melawan hukum secara materiel.
            Sifat melawan hukum secara umum maksudnya ialah semua delik, tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, seperti Pasal 338 KUHP (pembuhunan) tidak ada bagian inti (bestanddeel) sebagai bagian inti delik karena “merampas nyawa” dengan sendirinya melawan hukum.
            Maksud melawan hukum secara khusus ialah yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” sebagai bagian inti (bestanddeel) delik. Dengan sendirinya “melawan hukum harus tercantum di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan, maka putusannya ialah bebas (vrijspraak).
            Yang dimaksud dengan melawan hukum secara formal ialah apabila seluruh bagian inti delik sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.
            Sementara itu, melawan hukum secara materil mempunyai arti bahwa bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.   
            Selanjutnya adalah bestanddelen van het delict atau yang menjadi bagian inti dari delik. Bagian inti (bestanddelen) dari suatu delik adalah bagian yang secara tegas disebutkan dalam rumusan delik.  Van Bemmelen menjelaskan bestanddelen atau bagian-bagian inti dari delik itu adalah (PAF Lamintang, 1996 : 194) :
-        Terdapat di dalam rumusan delik;
-        Oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat dakwaan;
-        Harus dibuktikan di depan persidangan;
-        Bilamana suatu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan terdakwa atau dengan kata lain hakim harus menjatuhkan putusan vrijspraak.

C.        Tinjauan Umum Mengenai Unsur “Dengan Maksud” (Oogmerk)
            Salah satu yang menjadi bagian inti (bestanddelen) dari Pasal 332 KUHP adalah “Dengan Maksud Untuk Memastikan Penguasaan Terhadap Perempuan Itu, Baik di Dalam Perkawinan Maupun di Luar Perkawinan”.
            Oleh kerena itu pada bagian ini akan dibahas secara mengkhusus dan mendalam tentang perkataan “Dengan Maksud” atau yang dalam bahasa belanda disebut Oogmerk.
            Pada rumusan ketentuan-ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah digunakan dua macam istilah untuk menyaratkan adanya suatu kesengajaan, masing-masing istilah oogmerk dan istilah opzettelijk di samping sejumlah istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan opzettelijk yakni istilah waarvan hij weet, wetende dat, kennis dragende van.
            Bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) juga di dalam peradilan-peradilan seperti yang tercermin dari arrest-arrest Hoge Raad istilah opzet telah diartikan sebagai willens en waten. Willens atau menghendaki itu diartikan sebagai “kehendak untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu” dan waten atau mengetahui diartikan sebagai “mengetahui atau dapat mengetahui bahwa perbuatan atau tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendaki”. (PAF Lamintang, 1996 : 286).
            Kemudian dari pada itu, ajaran mengenai opzet telah berkembang melalui suatu jangka waktu yang sangat lama, dan agaknya untuk sementara berhenti pada penerimaan secara umum tentang adanya tiga bentuk opzet yakni apa yang disebut (PAF Lamintang, 1996 : 309) :
a.        Opzet als oogmerk;
b.        Opzet bij zekerheids-bewestijn;
c.        Opzet bij mogelijkheids-bewustzijn.
            Opzet als oogmerk atau yang berarti sengaja dalam arti sadar sebagai maksud. Maksudnya pelaku memang menghendaki untuk melakukan suatu tindakan dan maksud dari tindakan itu adalah untuk menghasilkan suatu akibat yang memang juga diinginkan. Van Hattum menyebutkan bahwa Opzet als oogmerk hanya dapat ditujukan kepada tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan untuk melakukan sesuatu, tindakan untuk tidak melakukan sesuatu ataupun tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. 
            Jadi apabila seseorang pada waktu ia melakukan suatu tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang terlarang, menyadari bahwa akibat tersebut pasti akan timbul ataupun mungkin akan timbul karena tindakan yang akan atau sedang ia lakukan, sedangkan timbulnya akibat tersebut memang beoogd atau memang ia kehendaki, maka apabila kemudian benar bahwa akibat tersebut telah timbul karena perbuatannya, orang dapat mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai Opzet als Oogmerk terhadap timbulnya akibat yang bersangkutan. (PAF Lamintang, 1996 : 312).
            Opzet bij zekerheids-bewestijn atau sengaja dalam arti sadar akan kepastian terjadi apabila seorang pelaku pada saat melaksanakan niatnya menyadari bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat selain dari yang dikehandakinya.
            Opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau sengaja dalam arti sadar akan kemungkinan terjadi apabila seorang pelaku pada saat melaksanakan niatnya menyadari bahwa perbuatannya mungkin akan menimbulkan akibat selain dari apa yang ia kehendaki.
            Simons dengan merujuk penjelasan yang terdapat dalam Memorie van Toelichting berpendapat bahwa terhadap istilah oogmerk itu haruslah diberikan arti yang sangat terbatas. Lebih lanjut bahwa oogmerk yang disyaratkan dalam kebanyakan Pasal KUHP itu memang diharapkan dan harus ditafsirkan sebagai dat de dader hebbe gehandeld om het omschreven gevolg te bereiken yang artinya bahwa si pelaku harus berbuat untuk mencapai akibat sebagaimana yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, Simons berpendapat bahwa apabila dalam rumusan suatu delik terdapat istilah oogmerk maka ia haruslah ditafsirkan secara sempit yakni semata-mata sebagai opzet als oogmerk atau sebagai opzet als willens en watens saja (PAF Lamintang 1996 : 334).
            Berbeda dengan Simons, Van Hattum berpendapat oogmerk harus ditafsirkan tidak hanya opzet als oogmerk tetapi juga ditafsirkan Opzet bij zekerheids-bewestijn.
            Sementara itu, Van Hammel justru mengatakan oogmerk harus dimaknai opzet als oogmerk, Opzet bij zekerheids-bewestijn, dan Opzet bij mogelijkheids-bewustzijn.

D.        Tinjauan Umum Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
            Ditinjau dari garis besar teorinya, Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang dapat dibagi dalam beberapa perbuatan yakni :
            1.    Membawa pergi atau menarik seorang yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua atau walinya
                            Diatur dalam Pasal 330 KUHP yang rumusannya berbunyi :
                   “(1)   barangsiapa dengan sengaja manarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidan penjara paling lama tujuh tahun.
                  
                   (2)     bilamana dalam hal ini dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

                            Berdasarkan bunyi ayat (2) pasal ini, maka unsur kekerasan atau ancaman kekerasan merupakan hal yang memperberat pidana. Jadi delik aslinya yang tercantum di ayat (1) tidak perlu ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
                            Bagian inti delik (delict bestanddelen) :
-        Dengan sengaja;
-        Menarik orang yang belum dewasa dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan untuk dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu.
                            Kekerasan atau ancaman kekerasan apabila anak itu belum berumur dua belas tahun.
                            Untuk memahami apa arti dari kata “menarik”, maka Pasal 91 KUHP memberi pengertian kekuasaan bapak, ialah kekuasaan dari kepala keluarga. Dengan orang tua diartikan kepala keluarga. Dengan bapak diartikan orang yang melaksanakan kekuasaan yang sama denga kekuasaan bapak.
                            Hoge Raad memutuskan bahwa jika anak itu karena maunya sendiri pergi ke perlindungan orang lain dan orang tua menolak menyerahkan anak itu, maka penolakan itu tidaklah berarti menarik anak itu dari kekuasaan orang yang berdasarkan undang-undang (Andi Hamzah, 2009 : 28).
                            Diputuskan juga oleh Hoge Raad bahwa penarikan seseorang yang belum dewasa dari kekuasaan orang berdasarkan undang-undang hanya terjadi jika kekuasaan atau penguasaan nyata itu dipunyai dan kekuasaan dan  penguasaan nyata dengan suatu perbuatan dilanggar (Andi Hamzah 2009 : 28).
                            Pasal 330 KUHP ini mensyaratkan kesengajaan, yang berarti secara umum bahwa kesengajaan itu ditujukan kepada bagian inti delik berikutnya.
            2.    Melarikan perempuan yang belum dewasa.       
                   Secara lengkap Pasal 332 KUHP ini berbunyi :
                   “(1) Bersalah melarikan perempuan diancam dengan pidana penjara :
                     1.    Paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuan perempuan itu, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
                     2.    Paling lama sembilan tahun, barangsiapa membawa pergi seorang perempuan, dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap perempuan itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.

                   (2)            Penuntutan hanya dapat dilakukan atas`pengaduan.

                   (3)            Pengaduan dilakukan :
                            a.    Jika perempuan ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin.
                            b.    Jika perempuan ketika dibawa pergi sudah dewasa oleh dia sendiri atau suaminya.

                   (4)            Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan perempuan yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan-aturan Burgerlijk Wetboek maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal.”

                            Yang menjadi inti dari delik yang sebagaimana diatur dalam Pasal 332 ayat (1) KUHP adalah :
                            1.    Membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa ;
                                     Membawa pergi berarti memerlukan suatu tindakan aktif dari laki-laki. Hoge Raad 3 Desember 1888 (Soenarto Soerodibroto, 2007 : 205) berbunyi
                                   “membawa pergi menghendaki suatu tindakan aktif dari laki-laki. Untuk penguasaan atau wanita itu tidak perlu diperlukan kekuasaan secara lama.”
           
                                    Menjamin pemilikan perempuan itu bukanlah delik ini tetapi kesengajaan ditujukan kepada hal ini. Jika sebelum membawa pergi perempuan itu ia telah melakukan hubungan seks dengannya, dapat dianggap mempunyai maksud untuk menjamin pemeilikan perempuan tersebut dalam arti jika ia dirintangi ia tetap akan melakukan perbuatannya (Andi Hamzah,  2009 : 30).
                                    Sementara itu yang dimaksud dengan perempuan belum dewasa adalah perempuan yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.
                                    Menurut undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 50 menyebutkan batas usia anak yang dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun. Dengan adanya ketentuan di atas, maka batas usia 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana ditetapkan dengan S.1931/54 sudah tidak berlaku lagi.
                            2.    Tanpa izin orang tua atau walinya berarti orang tua atau walinya tidak menyetujui perbuatan tersebut.
                            3.    Dengan kemauan perempuan itu sendiri, artinya setelah ada tindakan aktif dari laki-laki, apakah perbuatan membujuk, tipu muslihat, atau dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
                            4.    Dengan maksud untuk menguasai perempuan itu, baik dengan maupun di luar perkawinan.
                                    Untuk memiliki perempuan itu tidaklah perlu penguasaan atas perempuan itu dalam jangka waktu yang lama. Jika ia kawin berdasarkan Burgerlijk Wetboek , maka harus diadakan pembatalan perkawinan terlebih dahulu sebelum pemidanaan. Yang dapat menuntut pembatalan ialah bapak, ibu, kakek dan nenek, wali bagi mereka yang berada di bawah perwalian. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang indonesia, juga tidak untuk orang timur asing, kecuali orang Cina berdasarkan staatsblad 1917 No. 129. Jika perempuan itu hamil dalam hal delik Pasal 285 sampai dengan Pasal 288, 294 atau 332 KUHP pada waktu delik dilakukan, maka atas permohonan yang berkepentingan, tersangka dinyatakan sebagai bapak anak itu (Andi Hamzah, 2009 : 31)
            3.    Perampasan Kemerdekaan
                   Pasal 333 KUHP berbunyi :
                   “(1) barang siapa dengan sengaja merampas kemerdekaan orang lain secara melawan hukum atau meneruskan perampasan kemerdekaan demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

                   (2) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat, maka orang yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

                   (3) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan mati, maka dijatuhi pidana penjara paling lama dua belas tahun.

                   (4) pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
           
                            Melawan hukum sebagai bagian inti delik, jadi dalam dakwaan jaksa penuntut umum harus tercantum dan dengan demikian hal itu harus dibuktikan untuk dapatnya dipidana pembuat. Sebagai diketahui, banyak perampasan kemerdekaan dilakukan berupa penangkapan dan penahanan oleh penyidik oleh penuntut umum atau oleh majelis hakim, yang semuanya harus berdasarkan undang-undang.
                            Apabila seseorang telah dikurung di suatu ruangan dan berhasil lari bukan melalui jalan yang disediakan dan tanpa melakukan kekerasan atau mengalami kekerasan, maka orang itu telah dirampas kemerdekaannya (Andi Hamzah 2009 : 33).
                            Yang dimaksud dengan kemerdekaan di sini adalah kemerdekaan bergerak (bewegingsvijheid) demikian diputuskan oleh Hoge Raad, 3 Januari 1921. Hambatan terhadap kemerdekaan bergerak bukan saja berupa pengurungan dan penawanan, tetapi juga paksaan psikologis adalah cukup asalkan dengan itu kemerdekaan bergerak orang dihambat. 
BAB III
METODE PENELITIAN

A.        Metode Pendekatan
            Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian skripsi hukum ini adalah metode pendekatan (approach) yuridis murni (legal research) dengan spesifikasi penelitian adalah studi kasus serta dibantu dengan penelitian kepustakaan yang deskriptif dan eksploratif
            Adapun sumber data yang diperoleh dalam penulisan skripsi hukum ini adalah dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu :
1.            Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari Putusan No : 913/Pid.B/2010/PN.Mks; Data-data yang terkait dengan Putusan tersebut; Dakwaan Jaksa Penuntut Umum; Tuntutan Jaksa Penuntut Umum; Pledoi Tim Penasehat Hukum; Yurisprudensi-yurispridensi tetap.
2.            Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku hukum yang relevan, koran-koran, majalah, literatur-literatur, dokumen, dan arsip melalui penelitian kepustakaan (library research).

B.        Analisis Data
            Semua data dan informasi yang diperoleh dan dikumpulkan dari hasil penelitian, baik data primer maupun sekunder selanjutnya dianalisis secara deduktif interpretative dengan berlandaskan pada objektifitas dan diuraikan secara deskriptif dan eksploratif dengan menggunakan bahasa yang sederhana serta sistematis.

C.        Sistematika Penulisan
            Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut
BAB I PENDAHULUAN
            Dalam Bab ini dibahas tentang latar belakang masalah yang mendasari penulis mengangkat judul ini sebagai skripsi  hukum. Disini juga dicantumkan rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi serta tujuan dan kegunaan penelitian yang dilakukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
            Dalam Bab ini penulis mencantumkan beberapa pengertian dasar yaitu pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Tinjauan Umum Unsur Dengan Maksud (oogmerk), Tinjauan Umum Tentang Pasal 332 KUHP .
BAB III METODE PENELITIAN
            Dalam Bab ini dibahas mengenai metode pendekatan, jenis dan sumber data, analisis data, dan sistematika penulisan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
            Dalam Bab ini dianalisis bagaimana penerapan unsur “dengan maksud untuk memastikan penguasaan” dalam kasus pada Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks. serta bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan No. 913/Pid.B/2010/PN.Mks.
            Tegasnya dalam Bab ini akan dibahas segala hal dengan batasan-batasan berdasarkan rumusan masalah yang ada.
BAB V PENUTUP
            Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pembahasan rumusan masalah serta saran yang dapat dijadikan alternatif solusi dari masalah-masalah yang ada.
 
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filsofis dan Sosiologis. Jakarta : Toko Gunung Agung. 

------------------. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence). Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : LEPPEN-UMI.

Hamzah, Andi. 2009. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. Jakarta : Sinar Grafika

---------------------. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta : Rajawali Press.

Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.

Lamnitang, PAF. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Marlang, Abdullah, dkk. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Makassar : AS Center.

Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea.

Soerodibroto, Soenarto. 2007. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta : Rajawali Press.


1 komentar: