Selasa, 21 Desember 2010

Secuil Tentang Noodweer

Dalam Ilmu Hukum Pidana, salah satu hal yang menjadi dasar penghapusan pidana (strafuitsluitingsgronden) adalah pembelaan terpaksa atau yang biasa disebut dengan noodweer. Hal demikian telah ditegaskan dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP yang berbunyi :
“tidaklah dapat dihukum, setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan yang perlu dilakukan bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain atas serangan yang bersifat seketika atau yang bersifat mengancam secara langsung dan yang bersifat melawan hukum”.
          Berangkat dari penjelasan pasal 49 ayat 1 KUHP dalam Memorie Van Toelichting maka dapat diinterpretasikan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai peristiwa Noodweer maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
-      Bahwa serangan bersifat melawan hukum;
-      Bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda baik kepunyaan sendiri maupun orang lain;
-      Keperluan untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan untuk meniadakan serangan tersebut, yang telah tidak dapat ditiadakan dengan cara lain.

          Terkait dengan bahaya terhadap kehormatan, Moeljatno melengkapinya dengan frasa “kehormatan kesusilaan” yang selanjutnya memberikan contoh :

“meraba dada orang sesama jenis kelamin kiranya tidak pantas kalau dibela dengan pukulan keras di atas kepala yang meraba, sebab serangan terhadap diri orang demikian itu hanya bersifat ringan. Tapi kalau yang diraba dadanya tadi adalah berlainan kelamin, maka disitu ada serangan terhadap kehormatan yang bersifat serisu juga, sehingga kemplangan keras di atas kepala tadi adalah tindakan yang setimpal”.

          Berdasarkan doktrin-doktrin yang ada, tindakan Noodweer merupakan suatu upaya pembelaan yang dimaklumi. Van Hattum salah seorang pakar hukum pidana, menyebutkan bahwa dalam suatu Noodweer itu dapat disamakan dengan suatu gewettigde eigen richting atau dapat disamakan dengan suatu “perbuatan main hakim sendiri” yang oleh undang-undang telah memakluminya atau memaafkannya. Bagi Van Hattum Noodweer adalah salah satu alasan pemaaf yang mengakibatkan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 
          Pendapat berbeda datang dari Hezewinkel-Suringa, yang mengemukakan bahwa paham yang umum dianuti oleh badan-badan peradilan dan oleh dunia ilmu pengetahuan adalah paham yang memandang Noodweer itu sebagai suatu rechtsverdedinging, yang juga oleh penasehat Hukum memandangnya  bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum melainkan sebagai suatu hak untuk memberikan perlawanan terhadap onrecht atau terhadap hal-hal yang bersifat melawan hukum. Perlawanan tersebut dipandang sebagai rechmatig atau dipandang sah menurut hukum bukan karena orang yang mendapat serangan itu telah melakukan suatu pembelaan, melainkan karena pembelaan dirinya itu merupakan suatu rechtsverdedinging.        
          Namun terlepas dari dua pandangan di atas, telah dipahami secara tetap dan telah diakui oleh Hukum Pidana Indonesia bahwa Noodweer adalah dasar yang meniadakan atau menghapuskan hukuman pidana (strafuitsluitingsgronden).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar