Rabu, 26 Januari 2011

Tidak Ada Judul

1.       Berbagai regulasi telah ditetapkan “untuk memperoleh tanah demi berlangsungnya pembangunan” , mulai pada zaman penjajahan Belanda, maupun pada zaman kemerdekaan ini:
           a.    Ordonnantie apa yang mengatur tentang itu pada zaman penjajahan Belanda?
          b.    Undang-undang apa yang menggantikannya? Pernahkah undang-undang itu dilaksanakan sesuai tujuan pengundangannya?
          c.     Apa ciri utama dari undang-undang itu yang membedakannya kemudian dengan aturan sesudahnya?
        d.    Jelaskan satu persatu peraturan yang mengatur tentang “untuk memperoleh tanah demi berlangsungnya pembangunan” setelah huruf b, dengan ciri utamanya masing-masing.

2.             Setiap orang menghendaki kepastian (dan perlindungan) hukum atas hak atas tanahnya, dan hal itu sesuai dengan kehendak peraturan yang berlaku:
          a.    Di dalam pasal mana, dan bagaimana bunyi pasal tersebut dalam UUPA tentang hal tersebut!
          b.    Sebutkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal tersebut!
          c.    Apa yang dimaksud dengan kepastian hukum?
          d.    Jelaskan perkembangan pengaturan dari peraturan pemerintah tentang pendaftaran tanah, antara peraturan yang pertama ditetapkan dengan peraturan yang terakhir ini!
3.             Apakah janji pemberian jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dapat terwujud dalam era kepemimpinan sekarang ini? Jelaskan jawaban Saudara sesuai dengan kasus riel yang terjadi disekitar lingkungan kehidupan Saudara.
4.             Jelaskan urgensi pembentukan “Lembaga Bank Tanah” sebagai alternative penyelesaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
5.             Jawaban dibuat melalui http://pena.aminuddinsalle.com , up load hari ini juga, Rabu 26 Januari 2011. Hasilnya sudah dapat dilihat Kamis 27 Januari 2011
Pembahasan
1.a.      ordonnantie yang mengatur mengenai “pengadaan tanah untuk pembangunan” di zaman penjajahan Belanda adalah  Onteigeningsordonnantie (S. 1920-574) yang telah diubah beberapa kali.
1.b.      Undang-Undang yang menggantikan ordonnantie tersebut adalah UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
            Didalam konsideran UU No. 20/1961 dinyatakan perlunya peraturan baru tentang pencabutan hak-hak atas tanah, dengan mengacu pada pasal 18 UUPA, seraya mencabut Onteigeningsordonnantie. Selain itu, UU No 20/1961 ini telah menunjuk pula pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
            Berdasarkan prinsip “peraturan perundangan lebih rendah tingkatannya merupakan pelaksanaan dari peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Maka untuk menguji konsekuensinya harus ditelaah apakah UU No. 20/1961 tidak bertentangan dengan UUPA, UUD 1945 dan Pancasila. Secara lurus ke atas dan secara konkret dapat digambarkan bahwa yang menjadi acuan dalam hubungan pengadaan tanah adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 18 UUPA.
            Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka tujuan utama yang ingin dicapai ialah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian maka pencabutan hak atas tanah sebagaimana diharapkan oleh Pasal 18 UUPA, yang selanjutnya diatur di dalam UU No. 20/1961 harus dengan tujuan yang sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
            Dalam prakteknya yang baru satu kali dilaksanakan, ternyata bahwa tujuan itu tidak tercapai. Alasannya karena Keppres No. 2/1970 (merupakan peraturan pelaksana/implementasi dari UU No. 20/1961) yang dilaksanakan untuk pembangunan Hotel dan Shopping Centre dengan alasan dalam rangka pelaksanaan pembangunan Kota Jakarta sama sekali tidak bertujuan untuk kemakmuran rakyat, karena yang menajdi makmur hanyalah segelintir orang, yaitu hanya pemilik Hotel dan Shopping Centre, sedangkan rakyat yang dicabut haknya merasa sangat dirugikan.
            Menurut pembuat UU No. 20/1961, undang-undang ini lahir karena terdorong oleh kebutuhan akan perlunya suatu UU nasional untuk menggantikan UU kolonial. Di dalam penjelasan umum UU No. 20/1961 ini dinyatakan bahwa peraturan yang memuat ketentuan mengenai pencabutan hak atas tanah yang sebelumnya diatur di dalam Onteigeningsordonnantie, walaupun telah diubah dan ditambah beberapa kali, akan tetapi tetap tidak sesuai dengan perubahan kedaan dan keperluan. Selain itu, UU No. 20/1961 ini dapat dikatakan tidak pernah diberlakukan, sehingga tujuan pembentukannya tidak tercapai.
            (sumber : Amunuddin Salle, 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Kreasi Total Media :Yogyakarta)  
1.c.      Ciri utama antara UU No. 20/1961 dengan peraturan perundang-undangan sesudahnya adalah bahwa UU No. 20/1961 memiliki kecenderungan menggunakan istilah “pencabutan hak atas tanah” sementara peraturan perundang-undangan yang ada sesudahnya menggunakan istilah “pembebsan hak atas tanah”.
            Perbedaan yang menonjol adalah jika dalam “pencabutan hak atas tanah” dilakukan dengan cara paksa, maka dalam “pembebasan hak atas tanah” dilakukan berdasarkan azas musyawarah
1.d.      - PERMENDAGRI No. 15/1975 ciri utamanya :  telah menggunakan istilah “pembebasan hak atas tanah”. Telah mengenal azas musyawah dan mensyaratkan keharusan tercapainya kata sepakat antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pembebasan tanah yang harus didahului dengan musyawarah.
            - PERMENDAGRI No.2/1976 ciri utamanya : mengakomodasi peran aktif dari pihak swasta dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum.
            - Keppres No. 55/1993 ciri utamanya : merupakan pembaruan hukum yang terdapat kemajuan yaitu telah dilakukannya perombakan institusional, penyempurnaan prosedural, dan penyempurnaan criteria bentuk dan besarnya ganti kerugian. Menempatkan posisi IPT dengan PHAT dalam posisi yang seimbang.
            - Perpres No. 36 Tahun 2005 ciri utamanya :  melakukan penyempurnaan prosedural dengan lebih mengedepankan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Menegaskan tentang keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu hak atas tanah. Sebagai manifestasi dari Reformasi Hukum.
            - Perpres No. 65/2006 ciri utamanya : menyempurnakan Perpres 36/2005, khususnya menganai prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
2.a.      Pasal 19 UUPA ayat (1) yang berbunyi “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
2.b.      PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2.c.      Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan.Kepastian hukum menunjuk kepadapemberlakuan hukum yang jelas, tetap,konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
2.d.      Masalah pendaftaran tanah awalnya diatur dalam PP No. 10/1961 namun dalam perkembangannya PP ini tidak mempu diberlakukan secara maskimal karena dari fakta empirik ditemukan bahwa dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16.3 juta bidang yang sudah di daftar. Dalam pada itu, melalui pewariusan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar selama Pembangunan Jangka Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 Juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, disamping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah keadaan obyektif tanah-tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu singkat dengan hasil yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan itu maka dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak peraturan perundangan-undangan (sumber : Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997).

            Selanjutnya diadakanlah penyempurnaan dengan melahirkan PP No. 24 Tahun 1997 yang penyempurnaannya meliputi penegasan berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama, antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendiri, azas-azas dan tujuan penyelenggaraannya, yang disamping untuk memberi kepastian hukum sebagaimana disebut di atas juga dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan. Prosedur pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta disederhanakan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan (sumber : Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997).

3.         Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada masyarakat tentu harus dihubungkan dan memiliki ketergantungan dengan political will dari pemerintah. Dari segi substansi hukum, peraturan-peraturan perundangan yang ada telah dapat dikatakan berisi aturan-aturan yang cukup ideal untuk memberikan perlindngan dan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat.

            Namun kembali lagi ke persoalan apakah struktur hukum kita yang meliputi instansi dan para aparatnya mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten dalam menjalankan dan menegakkan peraturan perundang-undangan.

            Dalam kaitannya dengan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi hal demikian diantaranya PP No. 24/1997 yang memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah; Perpres 36/2005 jo. Perpres 65/2006 yang mengatur tentang jaminan kepastian hukum dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk pembangunan.

            Hal demikian sangat kontras dengan fakta empirik yang ada dilapangan. Misalnya dalam hal pendaftaran tanah, banyak sekali kasus yang ditemukan dimana satu objek bidang tanah memiliki 2 (dua) atau lebih Sertifikat Hak Milik (SHM) dalam waktu yang sama.

Juga dalam kasus pengadaan tanah untuk pelebaran Jalan Poros Makassar - Pare-Pare. Di DIPA proyek tersebut telah dialokasikan dana untuk pembayaran ganti rugi, namun di lapangan, banyak sekali oknum aparat pemerintah yang juga mengambil untuk dari proyek tersebut seperti dengan memotong uang ganti rugi yang seharusnya dibayarkan kepada pemegang hak atas tanah. Perilaku korup dari aparat pemerintah seperti ini tentu akan sangan melanggar prinsip jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum. 
  
4.         Urgensi lembaga Bank Tanah adalah menjamin penyediaan tanah di perkotaan untuk pembangunan kota berkelanjutan, mengendalikan pemanfaatan tanah secara efisien dan efektif, serta mengendalikan penguasaan dan pemilikan tanah sabagai objek spekulasi.
            Bank Tanah memiliki beberapa materi pokok yang perlu dipahami agar keyakinan kita  bertambah terhadap pentingnya suatu lembaga Bank Tanah yang terurai dalam bentuk fungsi, manfaat, serta prinsip Bank Tanah. Adapun Fungsi dari Bank Tanah yakni sebagai berikut :
·            Bank Tanah sebagai Penghimpun Tanah (Land Keeper)
       Melakukan inventarisasi terhadap tanah yang menjadi objek pengelolaan Bank Tanah dan mengumpulkan dan menyediakan data yang lengkap, akurat, terpadu, dan aktual. Yang tentunya akan dimanfaatkan oleh para pencari informasi mengenai pertanahan terutama yang berkepentingan untuk memanfaatkan tanah-tanah yang akan didistibusikan oleh Bank Tanah.
·            Bank Tanah sebagai Pengamanan Tanah (Land Warantee)
       Mengamankan penyediaan, peruntukan, dan pemanfaatan tanah yang sudah ditetapkan berdasarkan  rencana tata guna tanah yang merupakan bagian rencana tata ruang yang ada.
·            Bank Tanah sebagai Pengendali Penguasaan tanah (Land Purchaser)
       Bank Tanah mengatur penguasaan tanah oleh siapapun yang memenuhi persyaratan penguasaan tanah berdasarkan peraturan yang berlaku.
·            Bank Tanah sebagai Penilai Tanah (Land Value)
       Bank Tanah dapat menekan munculnya para spekulan tanah yang biasanya mengakibatkan harga tanah tidak terkendali, dengan adanya Bank Tanah maka harga tanah akan cenderung dapat dikendalikan.
·            Bank Tanah sebagai Pendistribusian Tanah (Land Distributor)
       Bank Tanah memiki kegiatan pembebasan tanah, pematangan tanah lalu kemudian didistribusikan sesuai dengan penggunaan dan peruntukannya kepada mereka yang berhak atas tanah itu sesuai dengan rencana tata ruang daerah setempat
·            Bank Tanah sebagai Manajemen Tanah (Land Management)
       Bank Tanah dapat berfungsi untuk meremajakan pemukiman kumuh yang ada di perkotaan sebagai wujud dari tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat.
Adapun Manfaat dari Bank Tanah sebagai berikut :
·            Mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan tanah untuk pembangunan dan persediaan tanah.
·            Mengendalikan mekanisme pasar tanah dan menjamin efisiensi dan rasionalitas harga
·            Mengefisienkan dan menjamin nilai tanah secara wajar dan adil
·            Memadukan kebijakan, strategi, implementasi dan evaluasi yang berkaitan dengan tanah.
Adapun yang menjadi tujuan dari Bank Tanah sebagai berikut :
·            Menjamin tujuan dan kepentingan pasal 33 ayat (3) UUD NKRI 1945
·            Mendukung Pembangunan kota yang berkelanjutan
·            Mengembalikan perkembangan wilayah
·            Mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan untuk perkotaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar