Rabu, 15 Desember 2010

Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum

Tanah adalah suatu harta yang ada di muka bumi ini yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema-problema rumit. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban adalah tanah.

Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan, bahkan cenderung semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktifitas masyarakat itu sendiri. Masalah pertanahan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai variasinya serta memiliki kecenderungan menimbulkan dampak buruk lainnya.

S  ejak akhir abad ke 20, tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan karena nilai ekonominya yang tinggi. Selain menjadi sumber asas modal pembangunan, tanah juga merupakan faktor pemicu konflik atau sengketa yang sangat rawan serta memiliki potensi pemicu krisis sosial. Guna mencegah hal-hal tersebut diperlukan suatu peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang atau badan hukum terhadap tanah miliknya.

Di Indonesia, yang memiliki daratan  (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.

Suatu terobosan yang sangat revolusioner diakukan oleh UUPA  yaitu dihapusnya sistem “Domain Verklaring”. Domain Verlklaring adalah sistem yang menentukan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan secara autentik maka dengan sendirinya menjadi milik negara. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat indonesia yang berbasis adat, dimana bukti autentik tidak dikenal sebelumnya dan hanya mengandalkan asas saling kepercayaan.

Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Olehnya itu memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk memelihara dan mengatur peruntukannya secara adil dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup umat manusia di masa mendatang.  

Dalam konstitusi RI (UUD RI 1945) tepatnya Pasal 33 Ayat (3) disebutkan bahwa :

“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Yang perlu digarisbawahi dari bunyi pasal di atas adalah kata dikuasai. Sekilas kata dikuasai menunjukkan negara adalah pemiliknya. Padahal tidak demikian adanya. Pada penjelasan umum UUPA disebutkan bahwa negara (pemerintah) dinyatakan menguasai “hanya” menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai” bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang tertentu kepada negara sebagai organisasi kekuasaan. Hal ini dirumuskan secara tegas di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menegaskan, kewenangan negara adalah :

a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut ;
b.      Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan  bumi, air dan ruang angkasa itu ;
c.   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan  hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa, segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam masyarakat adil dan makmur.

Suatu masalah yang kemudian muncul sehubungan kewenangan negara di atas adalah masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Praktis, hal ini bukanlah yang rumit-rumit amat. Mengingat yang memang pada dasarnya masyarakat indonesia sangat menjunjung tinggi kolektivitas, sehingga pengadaan tanah untuk kepentingan umum bukanlah menjadi masalah rumit. Tapi itu dulu. Seiiring arus indistrialisasi masuk di indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi-politik “tanam paksa” (culturstelseel) di tahun 1830. Pelan tapi pasti, paradigma masyarakat indonesia mulai berubah, yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini menjadi individualistik.   

Sebagai bagian dari hukum agraria nasional, peraturan pengadaan tanah harus mengacu pada tujuan hukum agraria nasional dengan prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, kalau tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, melainkan wajib pula memperhatikan kepentingan umum. Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan ptibadi akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Kepentingan umum dan kepentingan pribadi haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagian rakyat seluruhnya. Itulah yang menjadi tujuan dari UUPA.

Dalam menjawab persoalan pengadaan tanah ini, di Indonesia telah diundangkan beberapa aturan yang antara lain
1.      UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
2.      Permendagri No 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah, yang disusul Permendagri No 2 Tahun 1976 dan Permendagri No 2 Tahun 1985.
3.      Keppres No 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Demi Pembangunan.
4.      Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ; dan yang terakhir
5.      Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Perpres No 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.


Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Demi Kepentingan Umum

Berdasarkan Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan ini berkaitan dengan asas kenasionalan UUPA, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hak itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam ketentuan-ketentuan itu tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Sebagai pengejawantahan dari fungsi sosial tanah, maka Pasal 18 UUPA memungkinkan pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah (onteigening) jika betul-betul untuk kepentingan umum. Program pengadaan tanah untuk proyek pembangunan untuk kepentingan umum semakin tinggi intensitasnya. Tuntutan atas penggunaan lembaga onteigening semakin meningkat. Hal ini kemudian menimbulkan konflik atau masalah pertanahan yang serius. Dalam pelaksanaan di lapangan sering menimbulkan pertanyaan, apa sesungguhnya kriteria kepentingan umum itu. Hal demikian juga berimbas munculnya kriteria kepentingan umum versi masyarakat dan versi proyek, yang ujung-ujungnya selalu mengacu pada kriteria proyek yang pada akhirnya memicu pertentangan yang sangat tajam di masyarakat.     

Sebelum menguraikan secara mengkhusus bentuk-bentuk dan sistem pengadaan, maka terlebih dahulu penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Memberikan pengertian  tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain karena sangat rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat terkait.

Tapi hal ini dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oeh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :
  1. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
  2. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
  3. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
  4. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
  5. Tempat pembuangan sampah;
  6. Cagar alam dan cagar budaya;
  7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Bentuk Pengadaan Tanah

Pada prinsipnya hukum agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan tanah yaitu
-         Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) ;
Perpres No 36/2005 memberikan definisi pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
-         Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Berdasarkan penjelasan umum UU No. 20/1961 ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya pencabutan hak atas tanah adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah, dalam hal ini presiden. Bentuk kewenangan yang diberikan undang-undang adalah untuk melakukan tindakan dengan secara paksa mengambil dan menguasai tanah seseorang untuk kepentingan umum

Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar azas musyawarah.

Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan.

Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah. Jika pada Perpres No. 36/2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65/2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan segampangnya saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia, Perpres No 65/2006 lebih agak manusiawi dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya. 

Secara teknis dalam Perpres No 65/2006 meyebutkan pelepasan tanah dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah ini bertugas untuk mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya serta melakukan inventarisasi atas tanah dan bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Selanjutnya panitia pengadaan tanah ini akan menetapkan besaran ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.

Suatu terobosan kecil yang diberikan oleh Perpres No 65/2006 adalah dengan dicantumkannya pasal 18 A. Pasal 18 A menentukan apabila  yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20/1961.

Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Wali Kota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri.  Ini artinya memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang nota bene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar